Waktu SD, saya sangat iri kepada banyak teman.
Teman-teman saya selalu mendapatkan hadiah setiap kenaikan kelas. Beberapa dibelikan PS, Remote Control, mini 4 WD asli Tamiya dan Auldey, atau Digivice asli Bandai yang waktu itu lagi ngehits di kalangan anak sekolah.
Mereka mendapatkan hadiah karena mendapatkan ranking, mengalami peningkatan nilai, atau sekedar karena berhasil “tidak berbuat onar”.
Saya iri karena setiap tahun saya tidak pernah berbuat onar. Saya juga selalu mengalami peningkatan nilai. Dan saya tak pernah jauh dari ranking 5 besar.
Tapi orang tua saya tidak pernah memberi saya apa-apa.
Setiap pengambilan raport, saya selalu ikut Ibu saya duduk di depan wali kelas karena dia akan mendengar laporan hal-hal baik tentang saya. Saya ingin pastikan bahwa ibu benar-benar tahu dan mendengar bahwa anaknya belajar dengan baik, aktif, tidak macam-macam, dan layak mendapatkan pujian. Di hari pembagian raport, saya selalu mengikuti ibu, menatap penuh harap bahwa dia akan melihat saya dengan bangga, lalu bilang bahwa kita akan ke toko mainan untuk membelikan saya hadiah.
Tapi hal itu tidak pernah saya rasakan.
Belasan kali pembagian raport, empat tahun di sekolah dasar, tak pernah sekalipun saya mendapatkan hadiah.
Hingga di kelas empat, hari itu ternyata datang juga.
Hari sabtu, ketika akan pergi bermain bola, ibu bilang kita akan pergi ke Pekan Raya Jakarta.
Ah saya ingat betul hari itu. Saya tidak pernah tahu kenapa kita pergi ke PRJ, hingga kami sampai di Kemayoran, setelah berkeliling selama satu jam, lalu berhenti di stand Polygon, dan saya disuruh Bapak memilih sepeda.
“Hadiah karena bagus di sekolah”
Saya senang bukan kepalang. Saya memilih satu sepeda, Polygon Rapid namanya. Sepeda seharga 1.050.000, barang mahal pertama yang saya punya.
Sepeda itu kami bawa pulang, dan terbukti sudah anggapan bahwa bapak ibu tidak akan pernah membelikan hadiah. Salah, karena sekarang disinilah saya, bersama sepeda.
Lima tahun kemudian, dalam sebuah bincang-bincang di meja makan, alasan mengapa hadiah itu lama sekali diberikan, sekalipun saya selalu membanggakan di sekolah, akhirnya terungkap. Ternyata hadiah itu adalah hasil perdebatan panjang.
Bukan tentang hadiahnya, tapi tentang waktunya.
Bapak, dengan keberaniannya, ingin sekali memberikan hadiah sebagai sebuah penghargaan. Bapak ingin mempercayakan anaknya belajar menjadi dewasa, dan salah satunya adalah dengan memberikan sepeda sehingga saya bisa pergi bersekolah sendiri. Dia ingin saya belajar merawat sesuatu dan bertanggung jawab untuk menjadi mandiri. Semua keberaniannya, semua kepercayaannya, didasari oleh cinta.
Tapi ibu, dengan kekhawatirannya, tidak ingin anaknya terluka. Tidak ingin hadiah yang diberikannya malah membuat anaknya celaka. Dia bertahun-tahun merasa ini belum waktunya, bahwa saya mungkin belum siap, dan mereka masih bisa memberikan solusi lain untuk saya. Karenanya dia selalu menunda. Semua kekhawatirannya, semua ketidaksetujuannya, didasari oleh cinta.
Saya tersenyum dan merenung.
Hanya ada satu perasaan yang bernama cinta di dunia, tapi setiap orang bisa menerjemahkannya dengan berbeda.
Jika ada kebenaran yang absolut, maka cinta seharusnya adalah salah satunya. Sayangnya, ia adalah ilusi. Cinta tak pernah objektif, karena ia berasal dari dalam hati. Bahkan jika ia berasal dari logika, ia tak pernah menghasilkan reaksi yang sama. Karena kadar kebenaran bagi setiap orang berbeda-beda, dan hati kita – sekalipun dikendarai secara sadar oleh logika – tak pernah bisa dipaksa.
Penerjemahan kita akan nilai-nilai kebenaran bisa jadi berbeda. Tapi akan ada waktu dimana perbedaan itu berujung pada kesepakatan, perseteruan itu berakhir dengan perdamaian dan senyuman.
Karena kita mendasarinya dengan cinta yang sama.