Sebuah advis yang kontradiktif. Jadi harus pintar tapi jangan terlalu pintar?
Hehe kepikiran ini kemarin saat mulai membayangkan anak saya akan disekolahkan ke mana.
Ibra masih umur 2 tahun sih, tapi ya udah mulai kepikiran dia mau sekolah di mana. Alasannya tidak lain dan tidak bukan karena finansial, haha. Biaya pendidikan itu inflasinya 15% tiap tahun loh, udah gila emang. Jadi ya meski sekolahnya masih lama, harus disiapkan dari jauh-jauh hari.
Masalahnya, semakin ke sini saya semakin skeptis juga dengan sistem sekolah. Setelah menjalani proses pendidikan wajib + kuliah, saya rasa banyak hal yang tidak efisien dalam sistem sekolah. Ilmu-ilmu yang dipelajari di bangku pendidikan formal sekarang banyak yang bisa dipelajari tanpa perlu duduk di bangku; berdiri saja sambil belajar dari sumber alternatif seperti Youtube atau podcast. I know, I know, terlalu oversimplifikasi memang. Tapi pertanyaan utamanya soal efisiensi.
Apakah sekolah memang harus 6 tahun? Apakah kuliah harus 4 tahun? Kayaknya semua bisa dipampatkan ke waktu yang lebih singkat, lalu anak-anak bisa lebih banyak waktu untuk mengexplore diri dengan terjun langsung mengerjakan sesuatu, bukan duduk di bangku kelas dan “sekadar” membaca buku dan membuat laporan.
Nah dari situ kemudian saya kepikiran, sekolah macam apa yang paling ideal buat anak? Saya punya aspirasi anak saya belajar banyak hal; fondasi agama, fondasi sains, bahasa, olahraga, pertemanan yang kelak akan berguna buat dia, dan masih banyak lagi. Belum lagi pemilihan sekolah harus dikalibrasi dengan faktor-faktor kehidupan lain, seperti ketersediaan biaya, jarak dengan rumah, keamanan lingkungan, dan masih banyak lagi.
Pemikiran itu yang kemudian bikin saya juga kepikiran: saya tidak mau anak saya terlalu pintar. Saya sering ketemu orang-orang yang terlalu pintar, jago membaca textbook dan menjalankan aturan berdasarkan panduan, tapi tidak punya common sense. Saya ga pengen anak saya juara di kelas, tapi saking pintarnya tidak tahu kalau sepatu rusak, ga harus beli baru. Bisa aja dibawa ke tukang sol sepatu. Atau misal tidak tahu kalau kita pakai sepatu bagus dan kondisi jalanan becek, ga harus naik mobil loh. Bisa jalan tapi sepatunya diikat dengan kantong kresek.
Street smart macam ini yang saya takutkan malah tidak dimiliki kalau si anak terlalu pintar. Hehe, terlalu mengada-ngada? Bisa jadi. Tapi itu kekhawatiran real saya, karena saya punya teman-teman yang seperti itu. Karena menjadi warga kelas atas yang terbiasa serba ada, mereka jadi tidak bisa menjejak bumi dan tidak tahu realita kehidupan banyak orang. Bias kelas ini yang saya hindari sekali.
Saya belum tau jawabannya, tapi senang bisa menuliskan sedikit keresahan ini di sini.