Entah
kenapa setiap mulai Ramadhan, di hari pertama selalu terucap. “Ga terasa ya,
tiba-tiba udah Ramadhan lagi”.
Entah
karena waktu memang berjalan cepat atau kesibukan yang kita lewatkan dari
Syawal hingga Sya’ban tidak seberarti itu. Entah yang mana, bagi saya masih
misteri.
Mungkin bukan hanya untuk Ramadhan. Setiap mulai tahun baru, Idul Adha, dan semua momentum yang sifatnya tahunan, rasanya ucapannya selalu sama.
Ga terasa ya.
Lalu tiba-tiba, di hari shaum pertama saya sadar satu hal: saya masih masuk kategori muslim musiman. Ini istilah unofficial yang tercetus di kepala saya sendiri. Gampangnya, muslim yang imannya masih tergantung momen.
Buat saya sendiri masih terasa sekali. Waktu mulai tilawah, kok terasa sekali saya sudah lama ga ngaji. Waktu mulai tarawih, kok terasa sekali saya sudah lama tidak sholat malam.
Makin terasa bahwa benar, iman manusia itu labil. Kadang bertambah, kadang berkurang. Kadang naik, kadang turun.
Dan setelah saya pikir, kayaknya memang sudah fitrahnya manusia.
Itulah kenapa kita diperintahkan melakukan ibadah-ibadah rutin dalam skala besar dan kecil. Yang kalau diteliti, semua ibadah itu memang diciptakan dalam bentuk siklus agar kita selalu terjaga dalam waktu diantara keduanya.
Ada 5 sholat wajib sebagai pengontrol harian. Ada sholat jumat yang didesain sebagai charger pekanan. Ada Ramadhan dan hari raya yang didesain sebagai harinya satu umat Islam sedunia dalam satu tahunan.
Syukurnya, tahun ini kita masih bisa merasakan nikmatnya Ramadhan. Diizinkan kembali ke siklus tahunan, dipersilakan untuk berada kembali di titik atas kualitas iman.
Karenanya jangan disia-siakan. Selagi masih semangat di atas, kita manfaatkan sebaik-baiknya untuk beribadah sebanyak-banyaknya.
Dan tentunya terus belajar cara agar kita bisa konsisten, dan ga selamanya jadi muslim musiman.