Tulisan ini berawal dari kicauan seorang aktivis kampus di twitter.
Teman saya ini seorang mantan aktivis kampus yang sangat populer. Selain karena performanya yang sangat baik dalam menjalankan pemerintahan semasa di BEM, penampilannya yang good-looking dan prestasinya yang nyaris sempurna membuatnya jadi teladan banyak mahasiswa.
Tapi lama kelamaan saya merasa terganggu dengan caranya menyampaikan ide, gagasan, maupun protes yang selalu diutarakan dengan sarkas dan sinis. Dalam bahasa yang lebih sederhana, selalu disampaikan dengan nyinyir. Saat itu saya berpikir, mungkin isu yang dibicarakan sudah sampai tahap yang sedemikian gawat sehingga memang harus disampaikan dengan sinis. Namun ternyata cara penyampaian ini terus berlaku bahkan pada isu-isu yang tidak semestinya ditanggapi sedemikian rupa. Penyampaian dengan nyinyir ini seakan mengesankan dia selalu berada di kutub yang paling benar, sedangkan orang lain yang berseberangan selalu salah. Sampai suatu ketika saya jadi tidak tahan untuk ikut berkicau, “Calon pemimpin hebat ga bisa ya ngetwit ga nyinyir?”.
Saya menyampaikan kritik ini lebih karena saya tahu betul kapasitasnya sebagai penyampai gagasan, yang memiliki kemampuan berbicara yang baik dan menulis yang mumpuni. Jika bisa menyampaikan orasi yang baik dan direkam melalui Youtube atau Soundcloud, mengapa harus menyindir lewat twitter? Jika bisa membuat tulisan yang membangun, mengapa cuma sekedar berkicau? Jika bisa berpendapat dengan santun, mengapa harus selalu nyinyir?
These days, the truth itself is never enough. The way you say it matters too, a lot. Dalam The Dark Knight, Christopher Nolan secara cerdas merefleksikan kondisi sosial masyarakat terkini yang menyatakan bahwa kebenaran saja tidak pernah cukup. Orang- orang membutuhkan lebih dari sekedar kebenaran itu sendiri. Cara kita menyampaikannya pun menjadi penting dan dipertimbangkan akan diterima tidaknya kebenaran yang kita bawa.
Jika kita hanya peduli apa yang kita berikan, tanpa peduli cara kita memberikannya, maka semua bisa berakhir sia-sia.
Bayangkan seseorang ingin memberi kita sebuah berlian seukuran genggaman tangan dengan harga ratusan juta. Tapi dia memberikannya dengan cara melemparkannya ke kepala, hingga kepala kita bocor dan berdarah. Apa yang terjadi kemudian? Seberapa pun mahalnya berlian yang diberikan, kita tidak melihatnya lagi sebagai berlian. Setelah itu, yang kita lihat hanya rasa benci terhadap cara orang itu melemparkannya dengan kurang ajar.
Bisa jadi ini juga yang terjadi pada FPI, ISIS, dan kelompok lain yang dalam banyak kasus menggunakan kekerasan. Kita sama-sama paham niatnya untuk kebaikan, tapi dengan cara yang salah, kebenaran bisa dinilai sebagai kejahatan.
Kita tidak ingin paradoks terjadi. Jangan sampai kesalahan yang disampaikan dengan benar mengalahkan kebenaran yang disampaikan dengan salah. Dan jangan biarkan orang yang menyampaikan kejahatan dengan cara yang benar dianggap pahlawan. Sementara orang yang menyampaikan kebaikan dengan cara yang salah dicap sebagai pelaku kejahatan.
Mari belajar menjadi benar, dan berlaku santun dalam menyampaikan kebenaran 🙂