Saya Benci Pengemis Setengah Mati

Saya benci pengemis. Saya benci pengemis setengah mati.

Saya membenci pengemis. Saya bukan orang sombong yang membenci orang-orang kecil. Saya juga bukan orang kaya, saya biasa-biasa saja. Biar saya jelaskan mengapa saya benci pengemis setengah mati.

Pertama, saya akan membela diri bahwa saya bukanlah orang sombong. Dalam Islam, sombong itu ada dua jenis: bathorul haq atau menolak kebenaran dan ghomtun nas yang artinya merendahkan orang lain. Dari definisi pertama, saya adalah orang yang memegang prinsip kebenaran. Banyak dari pengemis yang dari wajah dan badannya saja dapat Anda lihat, masih muda dan sehat. Lalu mereka mengemis, tak bekerja, hanya menadahkan tangan, dan bisa dapat uang? Cuih.

Saya ini pemegang kebenaran, pejuang kejujuran. Andaipun pekerjaan saya hanyalah berjualan gorengan yang untungnya 100 ribu rupiah per hari, itu lebih baik bagi saya daripada berbohong untuk mendapatkan uang. Pengemis yang tua? Saya pernah mengikuti mereka-mereka ini yang terlihat tua, meminta dengan membungkuk, dan mengemis dengan bilang “kasihan pak, belum makan”. Ternyata mereka-mereka ini juga masih sehat, jalan masih tegap, rumahnya pun ternyata bagus dan pakaiannya sengaja dibuat lusuh. Takkan pernah saya berikan uang untuk mereka yang berbohong untuk bekerja. Maaf, saya ralat, bahkan mereka tidak bekerja.

Lalu kedua, saya bukan orang kaya. Saya punya istri dan satu anak, dan saya menghidupi mereka dari pekerjaan saya sebagai montir di pabrik motor. Alhamdulillah, saya masih bisa menafkahi keluarga dengan makanan bergizi setiap hari. Bekerja selama tiga tahun, saya pun sudah bisa membeli rumah sederhana yang membuat kami bahagia. Uang yang saya kumpulkan dari keringat bekerja diatur betul oleh istri saya; untuk makan, untuk pengeluaran bulanan, untuk anak sekolah, dan baru kalau ada sisanya bisa untuk keperluan lain seperti hiburan.

Uang sekecil apapun kami perhitungkan betul sebelum dikeluarkan. Lalu dengan uang hasil saya bekerja setiap hari,  tiba-tiba ada pengemis yang tak bekerja, tak melakukan apa-apa, meminta saya mengeluarkan uang saya, lalu pergi begitu saja. Membayangkannya saja saya malas minta ampun.

Kebencian saya terhadap pengemis ini juga bukan saya buat-buat. Saya orang yang menerapkan prinsip “memahami sebelum membenci” kepada diri saya sendiri. Walaupun saya tidak suka sesuatu, saya tidak akan membencinya kecuali saya sudah memahaminya betul-betul. Dalam kasus pengemis, saya sudah terlalu banyak pengalaman yang bikin saya sakit hati dengan pengemis.

Topik mengenai pengemis ini sering sekali saya diskusikan bersama sahabat saya waktu SMA, Adi namanya. Kami berdua adalah sahabat yang lekat, dan karena kami hidup di asrama, sebelum tidur, kami sangat sering berdiskusi tentang apapun. Mulai dari tugas yang berat, makanan yang tidak enak, guru-guru yang menyebalkan, hingga isu-isu lokal maupun nasional seperti pengemis yang ada di jalan-jalan.

Suatu hari sebelum tidur, Adi yang baru pulang berteriak kepada saya berapi-api. Saya yang sudah di kasur dan mau tidur tiba-tiba menjadi tidak ngantuk. Sahabat saya ini sedang marah, rasanya saya pun jadi ikut marah.

“Pengemis itu tolol ya. Mereka itu bukan miskin harta, tapi miskin mental!”

Adi sedang kesal betul rupanya. Dia bercerita tadi dia baru pulang dari tempat makan pecel ayam di depan. Lagi asik makan, tiba-tiba datang pengemis. Seorang ibu-ibu yang jalannya bungkuk. Bajunya lusuh, mukanya kumal, dan dia berjalan sambil menggendong kantong dari kain yang sepertinya berat luar biasa. Dia menadahkan tangan sambil bersuara parau, “kasihan mas, belum makan dari siang …”.

“Gue kan jadi kasihan, tapi duit gue pas-pasan. Yaudah gue cari-cari duit di tas, nemu dua ratus perak. Ya gue kasih”.

Si ibu menerima uang di tangannya, lalu tiba-tiba raut mukanya berubah menjadi kaget. Dilihatnya dua ratus perak itu dan wajah si Adi bergantian.

“Eh dia jadi marah! Tuh duit dua ratus dibanting di meja gue sambil bilang, ‘ga salah mas dua ratus perak?! Trus dia ngeloyor pergi, bangsat ga tuh!”

Si Adi ini memang bicaranya rada kasar. Dia anak Betawi asli, tumbuh dan besar di daerah Slipi, persis di tengah-tengah komunitas betawi. Jadi dengan bicaranya yang ceplas-ceplos dan pilhan katanya yang kasar, saya sih maklum saja. Saya yang mendengarkan cerita itu pun jadi ikutan kesal setengah mati. Sialan betul pengemis itu, dikasih uang malah dibuang.

“Emangnya dia pikir cari duit gampang apa. Dua ratus kan juga duit. Jadi pengemis ga mau duit kecil, ya kerja lah bego!”

Si Adi berteriak seakan-akan ibu pengemis tadi ada disitu. Padahal yang ada disitu ya cuma saya. Adi berkata begitu karena sejak masuk SMA, dia sudah bekerja untuk bisa membayar sekolahnya sendiri. Dia bekerja serabutan sebagai tukang fotokopi dan cleaning service di salah satu kantor ketika akhir pekan. Dia bekerja luar biasa. Dari semangat dan kerja kerasnya saya belajar untuk mandiri.

Saya setuju sepenuhnya dengan pendapat Adi. Pengemis adalah orang yang tidak tahu malu. Mereka tidak bekerja, mereka hanya minta-minta. Ketika mereka mengambil keputusan untuk bekerja sebagai pengemis, ya seharusnya mereka telah mengetahui konsekuensi logisnya. Hampir semua orang akan sepakat bahwa mengemis adalah pekerjaan hina, karenanya wajar jika orang meremehkan pengemis. Jika ada yang memberi uang kecil, ya seharusnya mereka bersyukur masih ada yang mau memberi. Bukannya malah berlagak sombong merasa bahwa uang seratus, dua ratus, dan lima ratus tidak berharga. Cerita ini mengawali kebencian saya kepada pengemis.

Lalu berlanjutlah berbagai cerita tentang pengemis yang memupuk rasa benci saya kepada mereka. Cerita tentang pengemis yang memaksa, cacat tubuh yang dibuat-buat, bayi yang disewakan kepada mereka untuk membuat orang lain iba, hingga penghasilan mereka yang ternyata fantastis luar biasa. Belakangan berita tentang pengemis menjadi ramai di media. Seorang pengemis dalam satu hari bisa mendapatkan penghasilan hingga jutaan rupiah. Hanya dengan menaruh tangan di bawah? Meminta-minta dan tidak bekerja? Dapat penghasilan yang jauh lebih banyak dari saya yang bekerja? Rasa benci saya semakin menjadi-jadi.

Anda tidak percaya? Ingat berita tentang pengemis di Bandung yang diberi pekerjaan sebagai penyapu jalanan oleh pemerintah agar mereka tidak mengemis lagi? Mereka menolak mentah-mentah. Karena apa? Ya karena penghasilan mereka sebagai pengemis lebih banyak dari pada bekerja susah-susah jadi penyapu. Berkeringat dan capek luar biasa, pendapatannya hanya segitu, ya lebih baik mengemis.

Saya dan Adi, di tengah ketololan kami sebagai anak muda umumnya, sering berbicara tentang masa depan. Bahwa kami akan menjadi orang sukses. Bahwa untuk menjadi orang hebat, memang tidak mudah, dan satu-satunya jalan yang harus ditempuh adalah kerja keras. Tidak ada jalan lain.

Suatu waktu, saya dan Adi pergi ke luar kota dengan bus. Saat lampu merah dan bus kami berhenti, masuklah seorang pengemis. Saat itu benih kebencian terhadap pengemis sudah ada dalam hati saya. Kali ini pengemisnya adalah bapak-bapak dengan baju koko dan kopiah. Dia membagi-bagikan amplop yang bertuliskan Sumbangan untuk Masjid Ad-Dzikra, dan tertera di sana alamat masjid yang dimaksud. Si bapak mulai berbicara tentang masjid yang butuh sumbangan, lalu memanjatkan doa yang dirapal seperti dukun membaca mantra. Tidak jelas. Namun melihat wajahnya yang begitu khusyuk melapalkan doa, saya tergugah mengambil uang dua ribu, hendak memasukkan uang tersebut ke amplop, sebelum Adi menahan tangan saya, lalu berdiri, dan berbicara lantang hingga semua orang di dalam bus menengok ke arah kami.

“Masjid di jalan Palem Raya hanya ada satu, namanya masjid Al-Muhajirin. Saya tahu karena saya tinggal disitu. Masjid Ad-Dzikra ini palsu!”

Saya kaget luar biasa. Apa yang sohib saya lakukan? Jantung saya jadi berdetak cepat, keringat dingin bercucuran. Si Adi mencari masalah. Tapi di luar dugaan, ternyata si bapak-bapak berkopiah berhenti berdoa, wajahnya menjadi pucat, kakinya gemetar. Dan dalam sekejap, dia turun lompat dari bus, padahal amplop-amplopnya masih ada di penumpang. Saya menoleh kepada Adi, dia tersenyum, lalu tertawa lepas.

“Padahal gue ga tinggal disitu, coy! Tapi tuh orang langsung gemeter, berarti bener kalo dia boong!,” katanya sambil tertawa. Saya pun jadi ikutan tertawa.

Pengalaman itu semakin mengukuhkan premis bahwa di kota, begitu banyak pembohong, dan begitu banyak dari mereka yang berbohong dengan mengemis. Saya dan Adi berjanji apapun yang terjadi, kami tidak akan pernah memberi kepada pengemis. Tidak akan. Di hari kelulusan SMA, kami berjanji bahwa kami akan sukses. Dan satu-satunya jalan menuju kesuksesan adalah bekerja keras.

Semakin lama, semakin banyak pengalaman saya dengan pengemis, dan semakin besar kebencian saya kepada pengemis. Saya benci setengah mati.

Hingga suatu ketika, di bengkel, saya sedang bekerja merakit motor pesanan pabrik. Lalu saya melihat seorang pengemis datang di depan bengkel kami, meminta-minta dengan suara parau.

“Kasihan pak, belum makan dari pagi”.

Hari itu matahari sedang terik-teriknya, panas luar biasa. Keringat saya bercucuran, kerjaan ini membutuhkan konsentrasi penuh, dan tiba-tiba ada pengemis? Saya semakin panas luar biasa.

Saya melambaikan tangan tapi pengemis ini tak mau pergi. Saya melambaikan tangan lagi, tapi pengemis ini tetap meminta-minta. Saat saya berdiri dengan kesal dan hendak menyuruhnya pergi, bos saya yang sedang berjaga di bengkel memberi saya uang lima ratus perak.

“Lu kasih sana, kasihan lah. Nih,“ ujarnya sambil memberi saya uang lima ratus tadi. Saya yang masih memegang kunci inggris mengambilnya dengan enggan, ya perintah bos masa saya tolak. Dengan malas luar biasa saya melangkah menuju si pengemis. Si pengemis terlihat merasa menang, lalu saya berikan uang lima ratus tadi.

Saya segera berbalik karena malas. Tapi tiba-tiba, si pengemis tadi bergumam. “Ga salah nih mas, lima ratus perak?”. Kurang ajar, teriak saya dalam hati. Saya langsung berbalik badan. Si pengemis tadi dengan sengaja menjatuhkan uang lima ratus tadi dengan sombongnya dan berbalik badan. Uang lima ratus tadi menggelinding jatuh ke dalam selokan.

Saya marah luar biasa. Rasa benci yang telah saya pupuk sejak SMA, kini membuncah menjadi amarah. Ini sekian juta kalinya saya berhadapan dengan pengemis, dan dia berulah di depan mata saya. Saya cengkeram kerah bajunya dengan tangan kiri, saya acungkan kunci Inggris di tangan kanan, lalu saya berteriak di depan wajahnya,

“Lo cari tuh duit lima ratus perak, atau kepala lo gue pecahin pake ni kunci Inggris!”

Saya marah luar biasa. Semua darah rasanya ada di ubun-ubun saya. Si pengemis ini langsung ketakutan, wajahnya pucat, tapi dia hanya menggeleng.

“Lo mau kepala lo gue ancurin? Cari tuh duit dan balikin ke gue!”

Saya semakin nafsu. Tapi si pengemis ini terus menggeleng, semakin lama semakin keras. Saya dapat melihat wajahnya yang pucat, dan matanya yang mulai berlinangan air mata. Bukannya saya sudah ceritakan ke Anda, saya tidak kasihan pada pengemis. Saya benci, dan melihatnya ingin menangis saya bertambah benci dan emosi.

“Lo cari ga?!,” saya semakin mengancam. Bos saya mendekat untuk melerai, dan saya sudah mau melayangkan kunci Inggris saya hingga si pengemis yang sudah menangis itu tiba-tiba berkata, “Ini gue bal. ” Saya terdiam, mencoba mencerna apa yang barusan si pengemis ini katakan. Dia memanggil nama saya? Saya perhatikan wajah lusuhnya yang mulai basah karena air mata. Perlahan saya mengenalinya. Dan seketika itu pula saya ikut menangis.

“Ini gue Adi”

Sambil menangis, tangan saya melayangkan kunci Inggris itu ke wajahnya. Saya benci pengemis. Saya benci mereka setengah mati.

Browse Topics

🚀 Productivity

🎓 Studying

🎬 YouTubing

🤑 Entrepreneurship