secondeye:

Tiga minggu terakhir, saya ga posting foto apapun di instagram. Keinginan ada, tapi belakangan tiap kali mau posting, saya bertanya dengan diri sendiri, is this really me? Is this what i really want? Post something just to grab people’s like? Mengatasnamakan sharing padahal pamer dan begging?

I mean, come one, dude. Saya merasa aneh karena makin lama merasa larut dalam kehidupan sosmed yang adiktif, tapi banyak kopongnya. And it’s a lie if i don’t expect for likes or comments. Hidup ini kok ya jadi tergantung dengan pengakuan orang

Apalagi lihat temen yang posting selfie, tp captionnya ttg kebijakan hidup. Bilangnya lagi traveling, tp yang ada di frame foto mukanya doang. Masuk sana check in, makan situ check in. People are busy capturing moments, but rarely having time to enjoy it

Well, I’m not saying that I’m not one of them. I am. That’s why here is the real caption for the photo:

“Hidup ini harus bisa seperti pohon besar, akarnya menghunjam tanah, daunnya menggapai langit. Tariannya melepaskan peluh, dan napasnya memberikan teduh”

#instagramforlife #thatshowyoudoit

Ini adalah foto terakhir yang saya posting di instagram.

Foto dengan tulisan yang berisi keresahan saya tentang dunia sosial media. Tulisan yang diamini banyak orang lewat kolom komentar.

Tulisan singkat tadi adalah autokritik yang membuat saya berpikir kembali, bagaimana sosial media mengubah banyak cara pandang kita melihat dunia yang sebenarnya.

Keresahan ini, saya tumpahkan lebih dalam di episode podcast Subjective yang terbaru. Sudah bisa didengarkan di Soundcloud.com/iqbalhariadi, dan baru akan rilis di Tumblr besok.

Join me, and you will listen to my subjetivity.

Browse Topics

🚀 Productivity

🎓 Studying

🎬 YouTubing

🤑 Entrepreneurship