Mengutip Andrea Hirata, di balik dunia yang hiruk pikuk dengan kesibukan, di belakang ingar bingar kota yang memusingkan, ada dunia yang terdiam dan tenang. Dunia yang tanpa huru-hara dan tak pernah tergesa-gesa. Di dunia ini, waktu tersimpan dalam setoples kaca.
Sore tadi saat berjalan pulang ke rumah, saya bertemu seseorang yang hidup di dalam setoples kaca.
“Iqbal ya?”
Saya menoleh. Samar, tapi sepertinya ada yang memanggil saya.
“Siapa namanya, Iqbal kan?"
Seorang pria paruh baya dengan topi hijau kusam bertuliskan Top Gun, kaos bergaris biru hitam, celana bahan, dan sandal jepit merah. Senyum ramahnya terasa sangat familiar, sangat hangat. Saya terperanjat. Saya kenal betul orang ini. Rasanya dia seperti datang menemui saya dari masa lalu.
"Bang Tohir! Iqbal bang, iya, nama saya Iqbal”, seru saya dengan semangat karena masih kaget.
Bang Tohir tersenyum senang. “tuh kan bener, abang masih inget”
Senyum saya pun ikut mengembang. Bang tohir adalah penjual kue ape, kue berbentuk ufo yang dimasak di atas tungku kerucut seperti kue serabi. Anak2 biasanya menyebutnya kue tetek, ya karena memang bentuknya seperti itu sih. Warnanya hijau karena pandan, pinggirannya renyah, dan bagian tengahnya lembut. Jajanan favorit saya waktu TK.
Ya benar, saya mengenal Bang Tohir saat TK. Tujuh belas tahun yang lalu, saat saya berumur lima tahun. Saat saya masih seorang bocah, yang pergi sekolah dengan topi dan seragam, dengan tas kebesaran berisi buku tulis serta botol minum yang dikalungkan. Saya biasanya diberi uang jajan 500 perak, yang hampir pasti selalu saya belikan kue ape. Tak heran Bang Tohir kenal betul dengan saya, bahkan setelah saya masuk SD saya masih sering mengunjungi “tempat mangkal” dia di dekat TK saya.
“Wah udah gede ya kamu. Sekarang udah apa bal? Kuliah? Atau kerja?”, Bang Tohir bertanya dengan muka penuh rasa ingin tahu. Tentu saja dia penasaran. Sahabat kecilnya ini memang tak pernah kelihatan. Sejak kelas tiga SD, saya sudah tak pernah bertemu Bang Tohir lagi. Daerah bermain saya semakin luas, teman saya semakin banyak, dan aktivitas serta hal menarik yang saya lakukan semakin beragam. Saya semakin jarang, bahkan sebenarnya tidak pernah, bertemu lagi dengan Bang Tohir.
“Masih kuliah, bang”, jawab saya sambil tersenyum. “Di UI, jurusan biologi”.
“Wih hebat ya kamu kuliahnya di UI, jurusannya mantep lagi tuh, apa tadi namanya? Bang Tohir aja kaga ngerti dah apaan tadi namanya”, candanya sambil tertawa dan menepuk pundak saya. Saya ikut tertawa.
Hubungan saya dengan Bang Tohir pada dasarnya adalah hubungan mutualisme oportunistik: saya adalah pembeli dan dia adalah penjual. Kami menjalin hubungan karena saling membutuhkan dan menguntungkan. Tapi lama kelamaan secara tidak sadar kami menjadi teman.
Saya berdiri di sampingnya. Sambil mengobrol, saya mengamatinya.
Bang Tohir tidak berubah sama sekali. Topi hijau kusam bertuliskan Top Gun, kaos bergaris biru hitam, celana bahan, dan sandal jepit merah itu adalah pakaiannya sejak dulu saya menjadi langganannya saat TK. Kumisnya yang selalu dijaga rapi, gelas adonannya yang berjajar di atas tungku api, hingga gerobak hijaunya yang setelah tujuh belas tahun, hingga sekarang, masih saja condong ke kiri.
Hidup saya rasanya berubah begitu banyak. Saya tumbuh besar, menjadi dewasa, lulus sekolah lalu kuliah. Dunia begitu banyak berubah, tanah merah berubah menjadi jalanan, taman berubah menjadi bangunan. Bekasi yang dulu sepi semakin ramai oleh orang yang berdatangan. Semua berubah, rasanya semua berubah, kecuali Bang Tohir.
Begitu sederhana hidup Bang Tohir, seorang pedagang kue Ape. Seseorang yang pekerjaannya tidak ada dalam daftar cita-cita anak TK, tidak masuk dalam kategori apapun di kolom pekerjaan KTP. Saya membayangkan tujuh belas tahun – bahkan lebih – dia berdagang kue ape untuk bertahan hidup. Pasti tidak banyak orang yang dia temui, kejadian yang dia lalui pun itu itu saja. Tau tau, tanpa sadar, sekian puluh tahun sudah berlalu dan saya tidak melihat perubahan apapun dalam hidupnya.
Tentu saja begitu banyak yang terjadi dalam hidupnya. Dan tentu saja saya melihat hanya dari luarnya saja. Tapi bayangkan bekerja sebagai penjual kue ape yang berkeliling dari satu TK ke TK lainnya, selama tujuh belas tahun, dan masih memakai baju yang sama. Sungguh hidupnya begitu sederhana.
Tak berasa saya sudah menghabiskan lima kue ape. Sore yang mengesankan saya habiskan bersama Bang Tohir, seseorang yang datang dari masa lalu saya. Hadir di masa kini bersama saya, tak berubah sedikitpun, masih sama seperti dulu kala.
“Jadi kamu bentar lagi udah sarjana dong, bal?”
“Iya bang”, saya berdeham. “Bentar lagi saya jadi sarjana”
Bang Tohir menatap saya, begitu lekat. Sambil tersenyum, dia menyodorkan tangannya. Saya menjabat tangannya, erat. Saya menatap wajahnya, jauh ke dalam bola matanya, saya sekuat tenaga mencoba mencari apapun yang bisa saya temukan disana.
Saya tidak menemukan apa-apa.
Saya tidak menemukan apa-apa selain kejujuran dan kesederhanaan.
“Mudah-mudahan kamu jadi orang sukses, bal”
Saya tersenyum haru. Saya tak ingin menangis, tapi apa yang saya temukan di dalam bola matanya telah meluluhkan hati saya. Dalam hidupnya yang tak pernah berubah, kesederhanaan telah menjadi bagian dirinya, yang rasanya sangat jauh meninggalkan hidup saya. Dalam hidupnya yang begitu begitu saja, kejujuran adalah pakaian yang dia pakai setiap harinya, yang bagi saya mungkin masih seperti jam tangan bagi orang kaya yang bisa dipakai maupun dibuang kapan saja.
Sore ini, saya belajar dari Bang Tohir. Seseorang yang hidupnya begitu-begitu saja, tapi punya hal yang mungkin sering kita lupa.
Seseorang yang hidup dalam setoples kaca.